Sabtu, 15 Mei 2010

msi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lebih dari 14 abad silam, Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah kalam yang pendek “ Bacalah ! ”, kahadiran beliau dengan risalahnya telah menghadirkan abad penuh cahaya keilmuan karena semua umat akan terpacu untuk selalu menggunakan lisannya guna membaca dari apa yang belum diketahui. Hal ini tentunya akan mengandung konsekuen bahwasannya umat akan berhijrah dari kejahiliahan menuju kegemilangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Yaitu zaman dimana manusia akan merasakan kesejahteraannya dengan segala alat perlengkapan yang serba praktis.

Dalam perkembangannya, keberagaman manusia karena kondisi geografis dan sosiologis yang berbeda akan menghasilkan tradisi dan budaya yang berbeda pula. Perbedaan tradisi dan budaya ini juga tidak terlepas oleh adanya arus perkembangan teknologi dan informasi seperti sekarang ini.

Gambaran tentang wajah keberagaman hidup manusia ini, tidak dapat di justifikasi-kan dalam satu paham saja, namun suatu paham hanya akan mampu untuk mengontrol seberapa jauh budaya dan tradisi yang sudah berjalan di dalam masyarakat tersebut. Yaitu menjadi check and balance seberapa jauh budaya dan tradisi itu mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat.Oleh karena itu, Islam lahir dengan ajaran-ajarannya yang memiliki toleran cukup tinggi bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sehingga agama ini dapat dinilai sebagai penyempurna dari ajaran-ajaran yang sudah ada sebelumnya. Dalam peranannya Islam mampu mengakulturasikan budaya yang sudah ada dengan memasukkan ajaran-ajarannya tanpa mengurangi kepercayaan dari pihak yang bersangkutan terhadap apa yang akan diberikan oleh Islam. Kerena Islam mampu memandang bahwa kedatangannya memang diperuntukkan guna kemashlahatan umat.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah tujuan adanya akulturasi budaya Islam dengan yang selainnya?

2. Bagaiman pandangan Islam terhadap budaya Wayang di Jawa?

BAB II

  1. Islam di Jawa

Agama pembawa misi kebenaran atau dalam term-nya adalah Islam datang ke Jawa dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat dan Cina. Perkembangan agama Islam sudah dimulai sejak masyarakat Jawa sudah menganut keyakinan Hindhu-Budha. Hal ini terbukti dengan berdirinya kerajaan Demak setelah adanya kerajaan Majapahit. Dimana misi kekuatan Islam pada waktu itu untuk dakwah memerangi sesatnya kepercayaan masyarakat Jawa.

Dalam prakteknya , dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa, melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada. Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah masyarakat Jawa. Adanya budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di input oleh ajaran Islam diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada hari ketiga, keujuh, dan hari keempat puluh yang didalamnya sudah terdapat lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya ini merupakan warisan kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini, tradisi lama secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula Upacara Selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam.[1]

Dari beberapa contoh diatas juga masih terdapat berbagai contoh budaya lain dari Jawa yang sudah mendapat Input ajaran Islam seperti halnya wayang, peringatan hari-hari keramat dan upacara selametan dari hampir setiap peristiwa. Keseluruhan budaya-budaya tersebut masih eksis menjadi rutinitas peribadatan karena adanya pihak kaum Nadhliyyin (NU) untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan tersebut, meskipun sekarang sudah memasuki zaman millennium yang ketiga yang dinilai oleh kaum Muhammadiyah sebagai zaman untuk melakukan pembaharuan demi melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh budaya non Islam.[2]

Dalam merespon perkembangan yang terjadi secara umum umat Islam di Jawa dibagi menjadi dua kelompok :[3]

    1. Kaum tua, yaitu kaum Ulama yang menentang perubahan-perubahan yang berkembang dan cenderung mempertahankan sistem keberagaman yang telah mapan di Indonesia
    2. Kaum Muda, yaitu kaum ulama yang mendukung perubahan – perubahan radikal dalam pemikiran dan praktek keagamaan di Nusantara

  1. Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.

Kebudayaan Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang menjadi kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia.[4] Sebenaranya Wayang berasal dari kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. Pada tahun (898-910) M. Wayang sudah menjadi wayang Purwa, Namun tetap masih ditunjukkan untuk menyembah para SangHyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung : Sigaligi MawayangBuat Hyang, Macarita Bhima ya Kumara. [5]

Menurut kitab Centini, tentang asal usul Wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang , mula-mula sekali diciptakan oleh raja Jayabaya dari kerajaan Mamenang/ Kediri sekitar abad ke 10, raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya yang digoreskan diatas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Dewa Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kalinya adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari dewa Wisnu.[6]

Dalam perkembangannya, saat dunia Islam mulai menyentuh pewayangan terjadi perubahan besar diseputar pewayangan. Raden Patah memerintah mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para Wali secara gotong royong, wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) segera direka ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan, dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau. Dan disamping itu, Sunan Bonang menyusun struktur Dramatikanya, Sunan Prawata menambah tokoh raksasa dan kera dan juga menambahakan beberapa sekenario ceritanya. Raden Patah menambahakan tokoh Gajah dan wayang Pramponan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertu njukan yang awalnya dari kayu, kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, cempala dan gunungan.

Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang. ’Suluk’ masih tetap dipertahankan dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha, namun disana sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah. Pada masa Sultan Trenggana, bentuk wayang semakin dipermanis lagi. Mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan. Susuhan Ratu Tunggal, pengganti Sultan Trenggana, tidak mau kalah. Dia menciptakan model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang Purwa, Sang Ratu juga memunculkan wayang Gedhog, yang hanya digelar dilingkungan dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, sunan Bonang menyusun Darmawulan.[7]

Walisanga dalam mengemban tugas luhur tersebut adalah dalam rangka mengislamkan tanah Jawa, dalam bukunya Poerbosoebroto yang berjudul “Wayang Lambang Ajaran Islam” banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan maksud Walisanga tadi. Oleh Walisanga, wayang diubah menjadi media dakwah Islam. Akidah Islam disiarakan melalui mitologi Hindhu. Hal-hal yang berkaitan dengan dengan dewa (hyang Sang Hyang) yang menjadi sesembahan masyarakat waktu itu, dikait-kaitkan dengan cerita nabi. Mitologi Hindhu berpegang pada dewa sebagai sesembahannya. Karena itu, Walisanga memadukan cerita-cerita silsilah wayang yang diganti dengan silsilah Nabi.

Cerita silsilah wayang digarap dan diurutkan keatas sampai pada nabi Adam. Metode dakwah Walisanga lewat mitologi Hindu, sangat tepat dengan kontek budaya masyarakat Jawa waktu itu (abad 15). Untuk menyiarkan akidah Islam, Walisanga memlilih cara atau metode yang menurut Drs. Ridin Sofyan cs dalam bukunya Islamisasi Jawa disebut ‘de dewanisasi’ cerita (lebih tepatnya de-sakralisasi Dewa / Tuhan Hindu). Cerita yang berhubungan dengan dewa-dewa diubah supaya akidah Islam bisa masuk dalam Hati sanubari masyarakat.[8] Hal ini dilakukan karena adanya dorongan untuk menyebaran Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa.

Perkembangan yang terjadi sampai sekarang ini masih tersisa bahwa perjuangan para Walisanga telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya setempat. Dengan dasar misi dakwah yang berdasarkan

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظةالحسنة وجادلهم بالتى هي احسن

Para Walisanga telah menunjukkan kepada masyarakat bahwasannya Islam bukanlah agama yang keras dan kolot, namun Islam adalah ajaran yang tidak akan melupakan maqashidu Syar’i nya yaitu almashlahat al murslah sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Maka sudah saatnya sebagai generasi penerus masa depan, setiap pemuda muslim diharapkan mampu melibatkan dirinya dalam kancah dunia modern dengan sumbangan pemikiran-pemikiran kreatif agar hati masyarakat sekarang ini juga ter input oleh ajaran-ajaran Islam seperti dahulu saat para Wali menjalankan aksinya. Sebaiknya tidak hanya monoton menjalani kehidupan dengan mengasingkan diri dengan kekolotannya tanpa ingin mencari tahu sedang apa diluar sana.

Dan yang masih menjadi PR bagi generasi sekarang ini adalah bagaimana menyadarkan masyarakat yang setengah-setengah diantara mistik Kejawen yang masih campur baur dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan akibat dari akulturasi culture yang ada sehingga mereka kurang mengetahui dimana sebenarnya kebenaran diantara keduanya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarakan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan sosiologis yang ada.

Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Stanton, Charles Mm dkk. 1999. Studi Islam Asia Tenggara.Surakarta : Muhamadiyah University Press

Hakim Atang Abd dan Jaih Mubarak. 2002. Metode Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosda Karya

http://dhitos.wordpress.com/2006/09/18/sejarah wayang

http://www.petra.ac.id/eastjava/culture/wayang.htm



[1] Charles M Stanton dkk. Studi Islam Asia Tenggara (Surakarta : Muhamadiyah University Press 1999). hal. 192

[2] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, Metode Studi Islam (Bandung : PT Remaja Rosda Karya 2002) hal. 190

[3] Ibid, hal. 193

[6] Ibid

[7] Ibid.

fiqh

PUASA WAJIB

MAKALAH

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Fiqih

Dosen Pengampu; Mahsun, M.Ag


Program Studi Muamalah Jurusan Syariah

Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nawawi (STAIAN)

Purworejo

2009

PUASA WAJIB

  1. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang memiliki kerahmatan kepada umatnya baik di dunia maupun diakherat, bahkan menurut agama ini orang yang selian pengikutnya pun mendapatkan rahmat dari tuhanya, hanya saja kerahmatan itu terbatas pada kehidupan di dunia saja. Dalam pencapaian kerahmatanNya di akherat, umat islam harus di tuntut untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, dan menjahui segala laranganya. Dalam prakteknya islam memiliki kegiatan-kegiatan peribadatan yang telah diatur secara sistematis demi kesejahteran umatnya, baik itu dilakukan dalam praktek sehari-hari, maupun dalam seminggu sekali ,bahkan setahun sekali. Puasa adalah salah satu kegiatan ibadah yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim dalam waktu setahun sekali,tepatnya dalam bulan suci Ramadhan.[1] Praktek peribadatan ini telah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah, tepatnya pada hari senin tangal 2 Sya’ban yang mempunyai mafhum mukholafah bahwasanya syariat puasa diberlakukan setelah Nbi SAW Hijrah ke Madinah.[2]

Inti dari ibadah ini adalah untuk menjaga diri, menahan hawa nafsu terlebih ketika melihat kontek zaman sekarang ini yang mulai menampakkan kejahilianya kembali. Bnyak diantara kita yang secara dzohir melangar aturan-aturan agama meskipun merka sebenarnya mengetahui apa yang telah di syariatkan oleh agama, hal ini dikarnakan ketidakmampuan manusia untuk menahan hawa nafsunya. Oleh karena itu islam menyajikan ibadah yang mampu mengontrol nafsu dalam kehidupan manusia yang salah satunya adalah pusa. Bukan hanya mampu mengontrol hawa nafsu,namun disisi lain puasa juga menyimpan makna sosal, yaitu ketika umat muslim melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadhan mereka dapat merasakan bagai mana lapar dan haus bersamama-sama.Dan juga dapat mersakan seperti apa yang dirasakan oleh sebagian kalangan orang miskin saat mereka kekurangan bahan makanan. Dan juga kebersamaan social itu tampak ketika umat muslim bersama-sama melakukan sholat terawih berjamaah dimalam hari saat bulan Ramadhan.

  1. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah melakukan tata cara puasa wajib?

2. Apakah peranan puasa dalam kehidupan umat manusia?

  1. Pengertian Puasa

Pengertian puasa menurut bahasa adalah menahan diri. Sedang dalam istilahnya adalah mrnahanya orang mukallaf dari syahwat batin dan farji dalam kurun waktu sejak terbitnya fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari yang disertai dengat niat.[3] Penjelasan dari fajar kedua adalah terbitnya fajar sidiq.mengutip perkatanya Prof. Dr H Ahmad Thib Raya M.A. dan Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, M.A.APU dalam bukunya Menyalami seluk Beluk Ibadah Dalam Islam puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa pada waktu tertentu dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.Puasa dalam perkembanganya terbagi menjadi 2 yaitu puasa wajib dan puasa sunah.Puasa wajib yaitu puasa khusus di bulan Suci Ramadhan dan puasa nadzar.Sedang puasa sunah yaitu puasa yang di lakukan karena tidak adanya ‘illat yang mewajibkan untuk berpuasa.

Dalam keterangan kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram disebutkan bahwa puasa sehari ssebelum ditepatkanya bulan Ramadhan adalah haram hukumnya, dikarenakan tidak diperbolehkanya menyempurnakan dua ibadah dengan kedudukan hukum yang berbeda (dalam konteks ini berarti wajib dan sunah). Hal ini terkecuali pada orang –orang yang mempunyai nadzar ataupun adat keseharianya untuk melakukan puasa, seperti puasa Ndawud, Senin-Kamis dan lain sebagainya. Dari keterangan ini menunjukan bahwa Ramadhan memang bulan yang dikhususkan dan merupakan bulan yang special untuk peribadatan kaum muslimin.

  1. Dasar Hukum

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun dalam islam. Dalam hal Ini perlu adanya dalil-dalil dari al Qurandan as-Sunah yang menguatkan disyariatkanya ibadah ini, diantaranya yaitu:

$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ $YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4 n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜム×ptƒôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #ZŽöyz uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ׎öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-baqarah: 183.) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.(QS. al-Baqarah: 184)

Sementara dalam haditsnya Nabi Muhammad menyebutkan:

بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان رواه البخاري ومسلم

Artinya: Islam didirikan atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang haq (patut disembah) selian allah dan bahwasanya nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat lima waktu, membayar zakat, menjalankan haji, dan puasa ramadhan. HR. Bukhori dan Muslim.[4]

Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa:

رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر شهر رمصان فقال شهر كتب الله عليكم صيامه وسنت لكم قيامه فمن صامه وقامه ايانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته امه.

Artinya: sesungguhnya Muhammad telah menyebut bulan Ramadhan, bahwa bulan itu merupakanbulan yang diwajibkan oleh Allah atas kamu untuk berpuasa dan bulan yang aku sunatkan kepadamu untuk melakukan shalat malam (tarawih). Barangsiapa yang berpuasa dan melakukan tarawih dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah akan dibersikan dari dosanya seperti pada hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.[5]

Sementara Ijma’ menyatakan bahwa hukum puasa ramadhan adalah wajib dan terbukti dalam realitanya tidak ada seorangpun yang menentang ketetapan tersebut serta tidak ditemukan perselisihan diantara ulama’ ahli fiqh.[6]

  1. Syarat Wajib, Syarat Sah, Rukun dan Hal Yang Membatalkan Puasa

1. Syarat wajib puasa meliputi: [7]

a. Islam

b. Baligh

c. Berakal, orang gila tidak berpuasa

d. Kuat berpuasa

e. Mengetahui Wajibnya berpuasa

f. Mukim

2. Syarat sah puasa meliputi:[8]

a. Niat

b. Mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan yang tidak tidak)

c. Suci dari darah haidh (kotoran) dan nifas (darah sehabis melahirkan)

d. Dalam waktu yang diperbolehkan puasa.

3. Rukun puasa meliputi:[9]

a. Niat pada malamnya, yaitu setiap setiap malam selama bulan ramadhan.

b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

c. Berpuasa pada waktunya.

4. Hal-hal yang membatalkan puasa:[10]

a. Keluar dari Islam (murtad).

b. Makan dan minum dengan sengaja

c. Muntah yang disengaja

d. Melakukan jimak disiang hari

e. Mengeluarkan mani di siang hari dengan disengaja

f. Haidh dan nifas

g. Melahirkan

h. Gila (majnun)

  1. Tata Cara Niat

Al-Mawardi menyatakan bahwasnya telah terbentuk sebuah konsensus bahwa peran niat merupakan salah satu segmen penting yang menentukan keabsahan ibadah puasa kaffarat dan nazdar. Namun ada perbedaan dalam puasa Ramadhan, yaitu pada permasalahan termasuk syarat sahnya atau tidak. Menurut mayoritas ulama’ niat pada puasa Ramadhan merupakan syarat sah, berbeda dengan imam Zufar bin al-Huzdail yang menyatakan bahwa niat bukan termasuk syarat sahnya puasa.[11]

Istilah niat dari segi etimologinya adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan dalam istilahnya adalah menetapkan hati untuk melakukan sesuatu.[12] Dan berdasarkan hadits innama al-a’mal bi al-niyat, maka segala sesuatupun diwajibkan atasnya untuk melakukan niat.

Pada awalnya pelaksanaan niat dalam puasa wajib adlah dilakukan pada awal pelaksanaan yaitu tepat pada munculnya fajar shodiq, namun kelanjutannya syariat memberi kebijakan bahwa niat puasa bahwa niat puasa dapat dimajukan waktunya yaitu sebelum waktu subuh tiba. Atau dalam bahasa fiqh akrab dengan istilah tabyit (melaksanakan niat pada waktu malam dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari sebelumnya sampai dengan batas masuknya waktu subuh).[13] Hal ini dikarenakan sulitnya mengetahui datangnya fajar shiddiq. Dasar tentang waktu niat dalam puasa adalah:

قال عليه الصلاة والسلام: من لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له

Artinya: Nabi saw., berkata barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari maka puasanya tidak sah.[14]

Berbeda halnya dengan niat dalam puasa sunah. Dalam puasa sunah diperbolehkan melaksanakan niat pada waktu setelah subuh dengan batasan sebelum zawal al-syams (waktu tergelincirnya matahari). Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh dewi Aisyah ra.:

قال لى رسول الله صلى الله عليه وسلم يا عائشة هل عندكم شيئ؟ قالت يا رسول الله ما عندنا شئ. قال فاني صائم

Artinya: Berkata dewi ‘Aisyah, Rasulullah saw.,bertanya kepadaku, hai Aisyah apakah kamu mempunyai makanan? Aisyah menjawab ya rasulullah kita tidak mempunyai makanan. Lalu beliau berkata, (kalau begitu) aku puasa. HR. Bukhori dan Muslim[15]

  1. Hikmah Puasa

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang agung yang didalamnya tersimpan kerahmatan bagi setiap umat Islam khususnya dan non muslim umumnya. Diantara berbagai hikmah yang dapat kita ambil dari adanya proses ibadah puasa adalah:

Hikmah secara individual meliputi:

1. meningkatkan ketaatan kepada Allah swt., dan Rasulullah saw.

2. Meningkatkan kesabaran dan ketabahan

3. menyembuhkan penyakit hati

4. mengendalikan hawa nafsu

5. mendidik jiwa dan ruh

6. mensucikan hati

Sedangkan hikmah puasa dalam sudut pandang sosial adalah:

1. Melakukan pengawasan nurani dari segala bentuk tingkah laku

2. menghlangkan rasa kesenjangan sosial

3. menumbuhkan kasih dan sayang terhadap sesame

4. meminimalisir perbuatan-perbuatan maksiat secara dhohiriyah dan ijtima’iyah.

  1. Simpulan

Dari uraian yang telah dibahas diatas, mengandung kesimpulan bahwasanya untuk melakukan puasa wajib haruslah melaksanakan semua syarat dan rukunya dan disertai mengetahui kapan waktunya.

Dalam peranannya puasa wajib telah memberikan kontribusi kepada masyarakat, muslim khususnya dan semua masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dibuktikan pada saat bulan Ramadhan tiba. Tidak hanya dari kaum muslim saja yang dapat menikmati berkah bulan ini namun semua tatanan masyarakat dapat memperoleh berkahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hadharami, Salim Ibnu samir, 2009Safinah al-Naja, Bandung: Sinar baru Algenso

Al-Jarhazi, Abdullah bin Sulaiman, 1997, al-Mawahib al-Saniyah, Beirut: Dar al-Fikr

Al-Nauri, Husain Sulaiman dan Alawiyi Abbas al-maliki, 2004 Ibanah al-Ahkam ‘ala Syarh Bulugh al-Maram, Bairut: dar al-Fikr

Kakilima Lirboyo, 2005, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista

Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid, Kediri: Purna Siswa Tiga Aliyah

Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia, 2003, Menyelami seluk beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta Timur: Prenada Media

Rusyd, Ibnu, 1996, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah



[1] Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, Esensi Pemikiran Mujtahid, (Kediri: Purna Siswa Tiga Aliyah, 2003) hal. 179

[2] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami seluk beluk Ibadah Dalam Islam, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003) hal. 213

[3] Husain Sulaiman al-Nauri dan Alawiyi Abbas al-maliki, Ibanah al-Ahkam ‘ala Syarh Bulugh al-Maram, (Bairut: dar al-Fikr, 2004) juz 2 hal. 283

[4] Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, op., cit., hal. 181

[5] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, op., cit., hal. 213

[6] Ibnu Rusyd, BIdayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1996 ) juz 3 hal. 147

[7] Ibid hal. 216

[8] Ibid.

[9] Salim Ibnu samir al-Hadharami, Safinah al-Naja, (Bandung: Sinar baru Algenso, 2009) hal. 110

[10] Ibid., hal. 113

[11] Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, op., cit., hal. 196

[12] Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawahib al-Saniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) hal. 110

[13] Kakilima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2005) buku 1 hal. 102

[14] Ibid. hal 198

[15] Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, op., cit., hal. 196