Sabtu, 15 Mei 2010

msi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lebih dari 14 abad silam, Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah kalam yang pendek “ Bacalah ! ”, kahadiran beliau dengan risalahnya telah menghadirkan abad penuh cahaya keilmuan karena semua umat akan terpacu untuk selalu menggunakan lisannya guna membaca dari apa yang belum diketahui. Hal ini tentunya akan mengandung konsekuen bahwasannya umat akan berhijrah dari kejahiliahan menuju kegemilangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Yaitu zaman dimana manusia akan merasakan kesejahteraannya dengan segala alat perlengkapan yang serba praktis.

Dalam perkembangannya, keberagaman manusia karena kondisi geografis dan sosiologis yang berbeda akan menghasilkan tradisi dan budaya yang berbeda pula. Perbedaan tradisi dan budaya ini juga tidak terlepas oleh adanya arus perkembangan teknologi dan informasi seperti sekarang ini.

Gambaran tentang wajah keberagaman hidup manusia ini, tidak dapat di justifikasi-kan dalam satu paham saja, namun suatu paham hanya akan mampu untuk mengontrol seberapa jauh budaya dan tradisi yang sudah berjalan di dalam masyarakat tersebut. Yaitu menjadi check and balance seberapa jauh budaya dan tradisi itu mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat.Oleh karena itu, Islam lahir dengan ajaran-ajarannya yang memiliki toleran cukup tinggi bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sehingga agama ini dapat dinilai sebagai penyempurna dari ajaran-ajaran yang sudah ada sebelumnya. Dalam peranannya Islam mampu mengakulturasikan budaya yang sudah ada dengan memasukkan ajaran-ajarannya tanpa mengurangi kepercayaan dari pihak yang bersangkutan terhadap apa yang akan diberikan oleh Islam. Kerena Islam mampu memandang bahwa kedatangannya memang diperuntukkan guna kemashlahatan umat.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah tujuan adanya akulturasi budaya Islam dengan yang selainnya?

2. Bagaiman pandangan Islam terhadap budaya Wayang di Jawa?

BAB II

  1. Islam di Jawa

Agama pembawa misi kebenaran atau dalam term-nya adalah Islam datang ke Jawa dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat dan Cina. Perkembangan agama Islam sudah dimulai sejak masyarakat Jawa sudah menganut keyakinan Hindhu-Budha. Hal ini terbukti dengan berdirinya kerajaan Demak setelah adanya kerajaan Majapahit. Dimana misi kekuatan Islam pada waktu itu untuk dakwah memerangi sesatnya kepercayaan masyarakat Jawa.

Dalam prakteknya , dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa, melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada. Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah masyarakat Jawa. Adanya budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di input oleh ajaran Islam diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada hari ketiga, keujuh, dan hari keempat puluh yang didalamnya sudah terdapat lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya ini merupakan warisan kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini, tradisi lama secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula Upacara Selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam.[1]

Dari beberapa contoh diatas juga masih terdapat berbagai contoh budaya lain dari Jawa yang sudah mendapat Input ajaran Islam seperti halnya wayang, peringatan hari-hari keramat dan upacara selametan dari hampir setiap peristiwa. Keseluruhan budaya-budaya tersebut masih eksis menjadi rutinitas peribadatan karena adanya pihak kaum Nadhliyyin (NU) untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan tersebut, meskipun sekarang sudah memasuki zaman millennium yang ketiga yang dinilai oleh kaum Muhammadiyah sebagai zaman untuk melakukan pembaharuan demi melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh budaya non Islam.[2]

Dalam merespon perkembangan yang terjadi secara umum umat Islam di Jawa dibagi menjadi dua kelompok :[3]

    1. Kaum tua, yaitu kaum Ulama yang menentang perubahan-perubahan yang berkembang dan cenderung mempertahankan sistem keberagaman yang telah mapan di Indonesia
    2. Kaum Muda, yaitu kaum ulama yang mendukung perubahan – perubahan radikal dalam pemikiran dan praktek keagamaan di Nusantara

  1. Wayang Sebagai Kebudayaan Jawa

Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.

Kebudayaan Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang menjadi kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia.[4] Sebenaranya Wayang berasal dari kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. Pada tahun (898-910) M. Wayang sudah menjadi wayang Purwa, Namun tetap masih ditunjukkan untuk menyembah para SangHyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung : Sigaligi MawayangBuat Hyang, Macarita Bhima ya Kumara. [5]

Menurut kitab Centini, tentang asal usul Wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang , mula-mula sekali diciptakan oleh raja Jayabaya dari kerajaan Mamenang/ Kediri sekitar abad ke 10, raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya yang digoreskan diatas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Dewa Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kalinya adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari dewa Wisnu.[6]

Dalam perkembangannya, saat dunia Islam mulai menyentuh pewayangan terjadi perubahan besar diseputar pewayangan. Raden Patah memerintah mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para Wali secara gotong royong, wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) segera direka ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan, dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau. Dan disamping itu, Sunan Bonang menyusun struktur Dramatikanya, Sunan Prawata menambah tokoh raksasa dan kera dan juga menambahakan beberapa sekenario ceritanya. Raden Patah menambahakan tokoh Gajah dan wayang Pramponan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertu njukan yang awalnya dari kayu, kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, cempala dan gunungan.

Sunan Kudus kebagian tugas men-dalang. ’Suluk’ masih tetap dipertahankan dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha, namun disana sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah. Pada masa Sultan Trenggana, bentuk wayang semakin dipermanis lagi. Mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan. Susuhan Ratu Tunggal, pengganti Sultan Trenggana, tidak mau kalah. Dia menciptakan model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang Purwa, Sang Ratu juga memunculkan wayang Gedhog, yang hanya digelar dilingkungan dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, sunan Bonang menyusun Darmawulan.[7]

Walisanga dalam mengemban tugas luhur tersebut adalah dalam rangka mengislamkan tanah Jawa, dalam bukunya Poerbosoebroto yang berjudul “Wayang Lambang Ajaran Islam” banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan maksud Walisanga tadi. Oleh Walisanga, wayang diubah menjadi media dakwah Islam. Akidah Islam disiarakan melalui mitologi Hindhu. Hal-hal yang berkaitan dengan dengan dewa (hyang Sang Hyang) yang menjadi sesembahan masyarakat waktu itu, dikait-kaitkan dengan cerita nabi. Mitologi Hindhu berpegang pada dewa sebagai sesembahannya. Karena itu, Walisanga memadukan cerita-cerita silsilah wayang yang diganti dengan silsilah Nabi.

Cerita silsilah wayang digarap dan diurutkan keatas sampai pada nabi Adam. Metode dakwah Walisanga lewat mitologi Hindu, sangat tepat dengan kontek budaya masyarakat Jawa waktu itu (abad 15). Untuk menyiarkan akidah Islam, Walisanga memlilih cara atau metode yang menurut Drs. Ridin Sofyan cs dalam bukunya Islamisasi Jawa disebut ‘de dewanisasi’ cerita (lebih tepatnya de-sakralisasi Dewa / Tuhan Hindu). Cerita yang berhubungan dengan dewa-dewa diubah supaya akidah Islam bisa masuk dalam Hati sanubari masyarakat.[8] Hal ini dilakukan karena adanya dorongan untuk menyebaran Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa.

Perkembangan yang terjadi sampai sekarang ini masih tersisa bahwa perjuangan para Walisanga telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya setempat. Dengan dasar misi dakwah yang berdasarkan

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظةالحسنة وجادلهم بالتى هي احسن

Para Walisanga telah menunjukkan kepada masyarakat bahwasannya Islam bukanlah agama yang keras dan kolot, namun Islam adalah ajaran yang tidak akan melupakan maqashidu Syar’i nya yaitu almashlahat al murslah sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Maka sudah saatnya sebagai generasi penerus masa depan, setiap pemuda muslim diharapkan mampu melibatkan dirinya dalam kancah dunia modern dengan sumbangan pemikiran-pemikiran kreatif agar hati masyarakat sekarang ini juga ter input oleh ajaran-ajaran Islam seperti dahulu saat para Wali menjalankan aksinya. Sebaiknya tidak hanya monoton menjalani kehidupan dengan mengasingkan diri dengan kekolotannya tanpa ingin mencari tahu sedang apa diluar sana.

Dan yang masih menjadi PR bagi generasi sekarang ini adalah bagaimana menyadarkan masyarakat yang setengah-setengah diantara mistik Kejawen yang masih campur baur dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan akibat dari akulturasi culture yang ada sehingga mereka kurang mengetahui dimana sebenarnya kebenaran diantara keduanya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarakan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan sosiologis yang ada.

Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Stanton, Charles Mm dkk. 1999. Studi Islam Asia Tenggara.Surakarta : Muhamadiyah University Press

Hakim Atang Abd dan Jaih Mubarak. 2002. Metode Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosda Karya

http://dhitos.wordpress.com/2006/09/18/sejarah wayang

http://www.petra.ac.id/eastjava/culture/wayang.htm



[1] Charles M Stanton dkk. Studi Islam Asia Tenggara (Surakarta : Muhamadiyah University Press 1999). hal. 192

[2] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, Metode Studi Islam (Bandung : PT Remaja Rosda Karya 2002) hal. 190

[3] Ibid, hal. 193

[6] Ibid

[7] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar