Minggu, 13 Juni 2010

Tarikh

PRINSIP-PRINSIP DAN ASAS-ASAS HUKUM ISLAM

REVISI

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Tarikh Tasyri’

Dosen pengampu : Mahsun, M. Ag

Oleh :

M.syauqi Taufiqurrahman

Nananag fadlan

Sazali Mustofa

PROGRAM STUDI MUAMALAH JURUSAN SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI

PURWOREJO

2010

I. PENDAHULUAN

Zaman modern telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia.

Hal ini merupakan kegiatan aktualisasi kembali agama Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan menginterpretasi kembali sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sebagai paradigmanya[1].

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang Islam dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh yang senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.

Namun dengan adanya fleksibelitas dalam syari’at Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi perkembangan kehidupan ummat bukan berarti ajaran Islam, terutama fiqhnya tidak konsisten dan bebas menginterpretasikan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser keqat’ian Al-Qur’an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme. Hal tersebutlah yang mendorong prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam lahir(dibentuk) sebagai upaya untuk membentengi syariat Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syariahnya.

II. PEMBAHASAN

A. Prinsip-prinsip Hukum Islam

Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah kitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan kata lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta.

Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf[2]. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu[3].

Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya.

Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok[4]. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda[5].

Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam[6].

Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :

1. Prinsip Tauhid

Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.

Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47). Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :

a. Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara, artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.

b. Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur, artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.

Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu asas kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari asas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :

a. Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’, yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya

b. Al-masaqqah tujlibu at-taysiir, kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan

2. Prinsip Keadilan

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Syura : 17 dan Al-Hadid : 25;

Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?[7]”( QS. Al-Syura : 17)

Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa[8]”.(QS. Al-Hadid : 25)

Term „keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat[9]. Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :

a. QS. Al-Maidah : 8, “ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan[10].

Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi) ;

b. QS. Al-Anam : 152,” Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.

Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang ;

c. Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri QS. An-Nisa : 128, “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan[11].”;

d. Keadilan sesama muslim, QS. Al-Hujrat : 9,”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.[12];

e. QS. Al-An’am :52, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)”

Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit. Teori „keadilan teologi Mutazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu : 1) al-sala’h wa al-aslah dan 2) al-Husna wa al-qubh. Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :

a. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia

b. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110,

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik[13].

Pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.

4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagaman dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama, hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun : 5;

“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui[14] (QS. Al-Baqarah : 256)

“ Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah[15]. (QS. Al-Kafirun : 5)

5. Prinsip Persamaan/Egalite

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip At-Taawun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam. Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya [16].

Asas asas hukum islam

Asas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen. Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :

1 Asas Nafyul Haraji yang berarti meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.

2 Asas Qillatu Taklif yang berarti tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.

3 Asas Tadarruj (bertahap), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.

4 Asas Kemaslahatan Manusia yang artinya bahwa hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.

5 Asas Keadilan Merata, artinya bahwa hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.

6 Asas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.

7 Asas Syara Menjadi Dzatiyah Islam artinya bahwa hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

III. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas kita dapat mengtahui bahwa prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam dibuat(ada) untuk mangaarahkan hukum-hukum islam yang dituntut harus sesuai dengan tuntutan zaman tetap pada pada tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapai tujuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Zahrah. 1994.Ushul Fiqh, Jakarta:Pustaka Firdaus

Ash-Shiddiqie ,Hasbi, 1958.Pengantar Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang

Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah. Damaskus

Az-Zuhaili, Wahbah.1997. Konsep Darurat Dalam Hukum Islam. Jakarta:Gaya Media Pratama

DEPAG, 2006.Alqur’an dan terjemahnya.Surabaya:karya agung

Suryadi, 1980. Kamus Baru Bahasa Indonesia. Surabaya:Usaha Nasional

S. Praja, Juhaya .1995.Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM Unisba



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997 : vii

[2] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994 : 26

[3] Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958 : 209

[4] Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980 :190

[5] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995 : 69

[6] Ibid

[7] DEPAG, alqur’an dan terjemahnya,2006,Surabaya:karya agung.hal. 695

[8] Ibid.hal.789

[9] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus, tth : 30

[10] DEPAG, alqur’an dan terjemahnya,2006,Surabaya:karya agung.hal. 144

[11] Ibid.hal.129

[12] Ibid.hal.744

[13] Ibid.hal.80

[14] Ibid.hal.53

[15] Ibid.hal.919

[16] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus hal 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar