Minggu, 13 Juni 2010

U fiqh

NASIKH MANSUKH

MAKALAH

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Mahsun, M.Ag.

Oleh:

M. HUDA MABRUR

M SYAUQI T.

M ALFIAN FAUZI

Program Studi Muamalah Jurusan Syariah

Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nawawi (STAIAN)

Purworejo

2010

NASIKH MANSUKH

A. PENDAHULUAN

Perkembangan hukum Islam dari masa kemasa memang tidak bisa dipungkiri bahwasannya Islam memang sengaja menampakkan ketidak monotonnya dalam melayani problem hukum yang berkembang dalam masyarakat. Beberapa metode dalam menentukan sebuah hukum yang diambil dari sumber teks Al Quran dan Al hadits sudah mulai dirintis sepeninggal The best Inteprenter yaitu Nabi Muhammad SAW. Dengan terdapatnya banyak sumber hukum yang di keluarkan oleh sang Hakim (Allah) dengan berbagai ‘illat atau Asbab Al-nuzul, maka Untuk mengakomodir hukum-hukum baru sehingga menggantikan hukum yang lama, maka Islam melahirkan ilmu nasakh mansukh. Dalam implementasinya Nasikh Mansukh mempunyai beberapa syarat dan rukunnya serta pembagiannya.

Sebenarnya bagaimana sistematika perjalanan pemberlakuan metode ini? Pertanyaan ini akan ditemukan jawabannya dalam pembahasan yang akan dijelaskan sebagai berikut.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian

Secara etimologi nasakh adalah berasal dari bahasa arab النسخ yang berarti menghilangkan.[1] Dalam kitabnya Wabah Az Zuhaily yang dikutip oleh Muhammad Ma’shum Zein mengatakan bahwa nasakh menurut bahasa adalah An-Naqlالنقل yang berarti memindah, sedangkan dalam buku yang sama oleh Muhammad Ma’shum Zein mengutip juga dari Abdul Hamid yang mengatakan bahwa Nasakh dapat diartikan at Tabdilالتبديل dan al Izalah الازالة .[2] Sedangkan Nasakh secara terminologinya dapat diartikan

النسخ هو الخطاب الدال على رفع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على جهة لولاه لكان ثا بتا مع تراخيه عنه

Yaitu khitab Allah yang menunjukkan hukum yang telah ditetapkan lebih dahulu dengan gambaran bahwa seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku sebagaimana awal disyariatkannya.[3] Atau secara sederhananya nasakh dapat diartikan

النسخ هو رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر

Yang berarti menghapus sesuatu hukum syara’ yang telah lalu dengan suatu nash yang datang kemudian yang ada perselangan diantara keduanya. [4] disamping itu Pengertian nasakh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama Muta'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil).[5] Dalam keselanjutannya nasakh dan mansukh haruslah terdapat beberapa unsur yang terkandung didalamnya seperti yang diungkapkan oleh Abdul Hamid yang dikutip oleh Muhammad Ma’shum Zein yaitu :

a. Naskh, yaitu adanya pernyataan (khittab kedua) yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang sudah ada sebelumya (khittab pertama)

b. Dalil Nasakh, yaitu dalil yang kemudian menghapus hukum yang sudah ada

c. Mansukh , yaitu hukum yang dibatalkan atau dihapus

d. Mansukh ‘Anhu , yaitu orang yang dibebani hukum[6]

2. Asbab al Naskhi

Sebagai salah satu dari keberagaman hukum Islam adalah terdapatnya pemberlakuan nasakh suatu nash atau dalil. Umat Islam sejak dari datangnya Islam itu sendiri sudah banyak mengkonsumsi berbagai landasan syari’at. Namun dalam perjalanannya Syari’at yang diberlakukan oleh Islam tidak serta merta mutlak keberadaannya. Islam mampu menyajikan berbagai upaya langkah – langkah pemberlakuan hukum dari yang sederhana hingga pada tingkatan yang memang pantas untuk diterima sesuai kadar masyarakat yang ada. Oleh karenanya hukum yang diberlakukan dimasa manusia mengalami sosio-kultur yang berbeda, akan terdapat tahapan untuk menghilangkan hukum yang sedang berlaku dengan hukum baru dari sang pembuat hukum agar kehidupan manusia semakin teratur, harmonis dan tentram. Karena tujuan dari adanya hukum adalah untuk mensejahterakan pola hidup masyarakat dengan mengakomodir batasan-batasan ruang lingkup yang diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat mampu merasakan sejahteranya hidup dalam naungan syari’at Islam. Jadi sudah jelas bahwasannya sebab terjadinya nasakh adalah sebagai alat untuk meralat hukum lama yang diganti dengan hukum baru yang lebih relevan dalam kemashlahatan umat.

3. Syarat-syarat Nasakh dan Mansukh

a. Syarat Nasakh

1) Nasakh harus terpisah dari mansukh

Dalam hal ini dalil yang menasakh dan yang dinasakh bukan merupakan suatu kesatuan. Maksudnya diantara keduanya mempunyai pemisahan dalam hal ‘illat ataupun latar belakang dalil yang menunjukkan suatu hukum.

2) Nasakh datang setelah mansukh

Secara otomatis bahwasannya suatu dalil yang mengganti dalil lain haruslah berada pada akhir, yaitu datangnya setelah dalil hukum awal itu ada.

3) Nasakh harus berupa hukum Syara’[7]

Sedangkan dalam beberapa hal yang bukan merupakan hukum Syara’ tidak bisa dikatakan nasikh mansukh seperti adanya pagi yang dinasakh oleh siang.

4) Pembatalan itu datangnya dari Syara’[8]

Karena tidak ada sang otoritas penentu hukum kecuali pembuat Syara’ yaitu Allah yang dilantarkan lewat wahyu baik berupa Al Quran maupun Al Hadits.

b. Syarat Mansukh

Syarat –syarat ini telah diuraikan oleh Wabah Az Zuahily dalam kitabnya Ushul Fiqh Al Islamy yang dikutip oleh Muhammad Ma’shum Zein :

1) Mansukh tidak dibatasi oleh waktu

Contohnya adalah hukum kebolehan makan dan minum dimalam hari saat bulan Ramadhan. Kebolehan ini hanya dibatasi sampai terbutnya fajar. Jika fajar sudah terbut maka kebolehan itu hilang dengan sendirinmya. Sebagaimana tersebut dalam surat al Baqarah ayat 187

2) Mansukh harus berupa hukum syar’i, sebab yang bisa menghapus mansukh hanyalah hukum Syar’i[9]

4. Klasifikasi Nasakh

a. Klasifikasi menurut obyek nasikh mansukh

1) Naskh al Rasmi wa Baqa al Hukmi

الشيخ والشيخة اذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم

Hukum ranjam pada ayat tersebut dinasakh dengan dalil nabi yang menunjukkan bahwa yang diranjam adalah orang yang zina muhson.[10]

2) Naskh al Hukmi wa Baqa al Rasmi

والذين يتوفو ن منكم ويذرون ازواجا وصية لازواجهم متاعا الى الحول

Ayat Al Baqarah 240 diatas dinasakh oleh ayat Al Baqarah ayat 234

يتربصن بانفسهن اربعة اشهر و عشر[11]

3) Naskh al Amraini ma’an

Haramnya hukum menikahi saudara sesusuan dengan batasan 10 kali menjadi 5 kali hisapan.

4) Nasakh hukum, tetapi obyek hukum yang digantinya beralih pada hukum lain

Perpindahan arah qiblat dari masjidil aqsha ke masjidil Haram

فول وجهك شطر المسجدالحرام

5) Nasakh hukum yang gantinya ada

Kewajiban shalat 50 waktu menjadi 5 waktu

6) Nasakh hukum yang gantinya tidak ada

اذا ناجيتم الرسول فقدموا بين نجواكم صدقة

Jika kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada kaum miskin) sebelum pembicaraan itu terjadi.

7) Nasakh hukum , tetapi hukum yang ada pada penggantinya lebih ringan

Awalnya 20 orang muslim yang ikut berperang harus berani menghadapi 200 orang kafir. Sehingga satu orang muslim harus menghadapi 20 orang kafir. Yaitu ayat :

ان يكن منكم عشرون صا برون يغلب مأتين

Kemudian ayat tersebut di nasakh dengan meringankan yaitu 100 orang muslim menghadapi 200 orang kafir, dengan dasar ayat ;

فان يكن منكم مىة صا برة يغلب مأتين

b. Klasifikasi menurut keadaan nasikh mansukh

1) Nasakh Al Quran dengan Al Quran

2) Nasakh Al Sunnah al Mutawatir dengan dengan Al Quran

Yang dimaksud adalah hadits mutawatir dinasakh dengan ayat Al Quran. Seperti hadist mutawatir tentang shalat menghadap baitul maqdis yang dinasakh dengan ayat al Quran فول وجهك شطر المسجدالحرام

3) Nasakh Al Sunnah dengan dengan Al Sunnah

Hadist mutawatir yagn dinasakh dengan hadist mutawatir

كنت نهيتكم عن زيارة القبر الا فزروها

5. Macam - Macam Nasakh

a. Nasakh Sharih

Naskh yang sharih ialah: Syari’ menyebutkan dengan jelas dalam tasyri’an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan hukumnya yang terdahulu misalnya dalam sabda Rasulullah SAW:

كنت نهيتكم عن زيارة القبر الا فزروها فانها تذكركم الاخرة

Artinya : “Aku pernah melarang kamu berziarah kubur. Ingatlah, ziarahlah kekubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan kehidupan akhirat”.

b. Nasakh Dhimmi

Adapun nasakh Dhimmi adalah : syari’ tidak menyebutkan secara terang-terangan dalam pensyariatannya yang menyusul terhadap pembatalan pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi Dia mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukum-Nya yang terdahulu, padahal tidak mungkin mensitesakan antar kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari keduanya, sehingga nash yang menyusul dianggap menasakhkan terhadap yang terdahulu secara kandungannya (dhimmi)

Naskh dhimmi adalah yang banyak terdapat dalam penetapan hukum illahi. Misalnya, firman Allah SWT:

Artinya: “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan hharta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf “. (Q.S Al-Baqarah: 180)

Firman tersebut menunjukkan, bahwa apabila seorang yang memilikki harta yang banyak kedatangan tanda-tanda kkematian, maka wajib berwasiat untuk kedua orang tuanya, dan para kerabatnya terhaddap harta peninggalannay dengan cara yang makruf.

c. Nasakh Kulli

Adapun naskh kulli adalah pembuat hukum pembatal hukum yang disyariatkan sebelumnya dengan suatu pembatalan secara kulli (keseluruhan) dalam kaiatannya dengan setiap individu para mukallaf, sebagaimana ia membatalkan pewajiban wasiat kepada orang tua dan kepada kerabat dengan disyariatkannya hukum warisan dan menghalang-halangi pemberian wasiat kepada ahli waris dan sebagaimana ia membatalkkan iddah wanita yang ditinggalkan mati suaminya selama satu tahun dengan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Allah SWT berfirman :

Artinya: orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah) berwsiat kepada istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...” (Q.S AL-Baqarah: 240).

Kemudian Allah berfirman :

Artinya : “orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari “.[12]

d. Nasakh Juz’i

Naskh Juz’i yaitu pembuat hukum mensyariatkan hukum secara umum yang meliputi setiap perseorangan dari mukallaf, kemudian dia membatalkan hukum ini dalam kaitannya dengan sebagian individu atau pembuat hukum mensyariatkan hukum secara mutlak, lantas membatalkan untuk sebagian kondisi. Nash yang membatalkan pemberlakuan hukum yang pertama sama sekali, akan tetapi ia membatalkan dalam kaitannya dengan sebagian kondisi. Contohnya adalah firman Allah SWT yang Artinya: Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali…” (Q.S An-Nur: 4)

Firman ini menunjukkan bahwa orang yang menuduh zina wanita baik-baik, dan tidak dapat menunjukkan buktinya maka orang tersebut didera hukuman delapan puluh kali deraan, baik peenuduhnya itu adalah suaminya ataupun orang lain. Dan firman Allah SWT yang lain yang Artinya: “ Dan orang-orang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri maka persaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar,” (Q.S An-Nur: 6)

Ayat ini menunjukkan bahwa jika penuduh zina itu adalh suaminya sendiri, maka ia tidak dihukum dera, akan tetapi ia dan istrinya saling bersumpah li’an. Jadi nash yang kedua me-naskh-kan hukum tuduhan zina dalam kaitannya dengan para suami.

Naskh ini merupakan naskh Juz’i, sebab jika pada pertama kalinya pembuat hukum menstariatkan hukum naskh yang umum atas dasar ke umumannya atau nash yang mutlak sesuai dengan kemutlakannya, kemudian sesuadah itu dengan masa tenggang ia mensyariatkan hukum bagi sebagiab satuan-satuanya, atau dibatasi suatu baatasan. [13]

6. Urgensi dari pada ilmu ini adalah :

a. Mengetahui Ilmu Nasikh Mansukh adalah tertmasuk kewajiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syari"at. Karena seorang pembahas syari"at tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil naskh (hadits), tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah di nasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya.

b. Memahami khitob hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil nash (hadits) yang tidak jelas penunjukanya. Diantara jalan untuk mentahqiq (mempositipkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat ialah dengan mengetahui mana hadits yang terdahulu dan mana pula hadits yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.

c. Ilmu nasikh mansukh ini bermanfaat untuk pengamalan hadits,Apabila ada dua hadits maqbul (Diterima) yang tanaaqud (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan atau dijama" (di kumpulkan). Apabila dapat di kompromikan,hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-hadits,maka kedua hadits tersebut dapat diamalkan. Namun jika tidak bisa dijama" (Di kompromikan), maka hadits maqbul yang tanaaqud tadi di nasakh.[14]

C. SIMPULAN

Dari uraian diatas kita bias mengambil kesimpulan bahwasannya proses nasikh mansukh dalam kajian Ushul Fiqh telah menjadikan warna dalam kehidupan hukum Islam. Yang mana kita mengetahui beberapa urgensi dari mempelajarinya, sehingga para pelajar kajian hukum Islam haruslah mengetahui seluruh aspek yang terkait dengannya. Seperti bagian dari sarat dan rukunnya serta berbagai macam – macamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bisri , Adib dan Munawir A. Fatah , 1999 . Al Bisri kamus Indonesia Arab Surabaya: Pustaka Progresif

Hasbi, Muhammad As Shidieqy.2001.Pengantar Hukum Islam .Semarang : PT Pustaka Rizki Putra

http://rumahislam.com/adab-syariah/syari/49-panduan-hukum-islam/383 pengertian-nasikh-dan-mansukh.html

Jumantoro ,Totok. dan Samsul Munir Amin. 2005.Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah

Ma’shum, Muhammad Zein.2008 . Zubdah Ushul Fiqh. Jakarta : Darul Hikmah

Wahab, Khalaf Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Toha Putra Group



[1] Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Al Bisri kamus Indonesia Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999). Hal. 718

[2] Muhammad Ma’shum Zein, Zubdah Ushul Fiqh ( Jakarta : Darul Hikmah 2008) hal. 129

[3] Ibid. Hal. 130

[4] Muhammad Hasbu As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001) Hal. 265

[6] Muhammad Ma’shum Zein, Zubdah Ushul Fiqh ( Jakarta : Darul Hikmah 2008) hal. 130

[7]Muhammad Ma’shum Zein, Zubdah Ushul Fiqh ( Jakarta : Darul Hikmah 2008) hal. 131

[8]Totok Jumantoro danSamsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Amzah 2005) hal. 252

[9] Muhammad Ma’shum Zein, Zubdah Ushul Fiqh ( Jakarta : Darul Hikmah 2008) hal. 132

[10] Ibid hal 134

[11] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah (Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putra ). Hal. 12

[12] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (semarang:Dina Utam Semarang (Toha Putra Group), 1994) hal.348-352

[13] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Amzah (Sinar Grafika Offset) 2005) hal. 255-256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar